KHALIFAH
Sesungguhnya Allah swt., telah mewajibkan kepada umat untuk menerapkan hukum syara' secara keseluruhan. Dan Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan menjadi milik umat, dimana dalam hal ini umat mewakilkan kepada seseorang untuk melaksanakan urusan tersebut sebagai wakilnya. Dialah Khalifah (atau Imam, atau amirul mukminin), yakni orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum-hukum syara'. Khalifah di anggap sah, bila ia telah dibai’at dengan bai'at in'iqad (bai'at pengangkatan) secara syar'i, dengan kerelaan.
SYARAT-SYARAT KHALIFAH
1. Muslim
Sesungguhnya Allah swt., telah mewajibkan kepada umat untuk menerapkan hukum syara' secara keseluruhan. Dan Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan menjadi milik umat, dimana dalam hal ini umat mewakilkan kepada seseorang untuk melaksanakan urusan tersebut sebagai wakilnya. Dialah Khalifah (atau Imam, atau amirul mukminin), yakni orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum-hukum syara'. Khalifah di anggap sah, bila ia telah dibai’at dengan bai'at in'iqad (bai'at pengangkatan) secara syar'i, dengan kerelaan.
SYARAT-SYARAT KHALIFAH
1. Muslim
2. Laki-laki
3. Baligh
4. Berakal
5. Adil
yaitu orang yang konsisten dalam menjalankan agamanya (bertakwa dan menjaga muru'ah). Jadi tidak sah orang fasik diangkat menjadi seorang khalifah. Adil adalah syarat yang harus dipenuhi untuk pengangkatan khilafah serta keberlangsungan akad pengangkatannya. Sebab, Allah SWT. telah mensyaratkan pada seorang saksi dengan syarat 'adalah (adil). Allah berfirman: "Hendaknya menjadi saksi dua orang yang adil dari kamu sekalian." (Q.S. At Thalaq: 2).
Kedudukan seorang khalifah tentu saja lebih tinggi daripada seorang saksi. Karena itu, tentu lebih utama dia memiliki syarat adil. Sebab kalau kepada seorang saksi saja ditetapkan syarat adil, apalagi kalau syarat itu untuk seorang khalifah, 6. Merdeka. 7. Mampu melaksanakan amanat khilafah. Sebab hal ini termasuk syarat yang dituntut oleh bai'at. Jadi, tidak sah bai'at kepada seseorang yang tidak sanggup untuk mengemban urusan umat (amanat khilafah) berdasarkan kitab dan sunah. Karena berdasarkan kitab dan sunah inilah dia dibai'at.
Akad Pengangkatan Khilafah adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan dan pilihan, kerena merupakan bai'at untuk taat kepada seseorang yang mempunyai hak ditaati dalam kekuasaan. Kerelaan ini haruslah dari kedua belah pihak, yakni pihak yang member bai’at dan pihak yang menerima bai’at. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak bersedia menjadi khalifah dan menolak jabatan khilafah, maka ia tidak boleh dipaksa atau ditekan untuk menerimannya, tapi harus dicarikan orang lain untuk menduduki jabatan tersebut. Juga tidak boleh mengambil bai'at dari kaum muslimin dengan kekerasan dan paksaan, karena jika demikian, maka secara syar’i akad tersebut bathil (tidak sah).
Ketika pembai’atan tersebut sah, maka saat itu orang tersebut telah menjadi Waliyul Amri, pemegang tampuk kekuasaan, yang harus ditaati.
Adapun orang-orang yang bisa melakukan pengangkatan jabatan khilafah dengan bai'at mereka, dapat difahami dari fakta yang pernah terjadi pada saat pembai'atan khulafaur rasyidin dan ijma' para sahabat.
Pembai'atan Abu Bakar As Shiddiq cukup dilakukan oleh ahlul halli wal aqdi dari kalangan kaum muslimin yang berada di Madinah saja. Kaum muslimin yang berada di Makkah maupun di seluruh jazirah Arab lainnya tidak dimintai pendapatnya, bahkan mereka tidak ditanya. Demikian pula pada saat pembai'atan Umar Bin Khattab. Sedangkan pada saat pembai'atan Utsman Bin Affan, Abdurrahman Bin Auf ternyata mengambil pendapat seluruh kaum muslimin di seluruh Madinah dan tidak membatasi pengambilan pendapat hanya dari kalangan Ahlul Halli Wal Aqdi sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar ketika mencalonkan Umar. Pada saat Ali Bin Abi Thalib, pembai'atannya hanya dilakukan oleh mayoritas penduduk Madinah dan penduduk Kufah. Dan beliaulah satu-satunya kandidat yang dibai'at. Bai'atnya pun dianggap sah, sampaipun dalam pandangan orang-orang yang menentang dan memeranginya. Sebab, terbukti bahwa mereka tidak membai'at orang lain dan tidak menyangkal pembai'atan beliau. Mereka hanya menuntut keadilan atas tumpahnya darah Utsman. Jadi, status mereka dihukumi sebagai bughat (pembangkang) yang menentang khalifah mengenai suatu urusan. Karena itu, khalifah harus menjelaskan persoalan tersebut kepada mereka dan memerangi mereka. Sehingga mereka tidak sampai membentuk khilafah yang lain.
Atas dasar inilah, maka khilafah dapat terwujud dengan sah, jika pembai'atannya dilaksanakan oleh mayoritas wakil umat yang mewakili sebagian besar umat Islam yang berada dalam wilayah ketaatan kepada khalifah sebelumnya, dimana akan dilangsungkan pemilihan penggantinya sebagaimana yang terjadi pada masa khulafaur rasyidin. Pada saat itu, bai'at mereka menjadi bai'at in'iqad khilafah. Adapun setelah bai'at in'iqad terlaksana maka bai'at yang telah dilakukan oleh selain wakil tersebut adalah bai'atut tha'at yaitu bai'at untuk melaksanakan perintah khalifah, jadi bukan bai'at untuk mengangkat khalifah.
Cara ini berlaku ketika seorang khalifah meninggal dunia atau diberhentikan, dan hendak diangkat khalifah baru sebagai penggantinya.
Adapun dalam keadaan dimana tidak ada khalifah sama sekali, yaitu keadaan dimana kaum muslimin diwajibkan mengangkat seorang khalifah untuk melaksanakan hukum-hukum syara' dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia, sebagaimana keadaan ketika runtuhnya khilafah Islam di Istambul tahun 1343 H, (1924 M) sampai hari ini, maka setiap negeri dari seluruh dunia Islam wajib membai'at seorang khalifah dan melaksanakan akad pengangkatan khilafah. Namun apabila salah satu negeri Islam tertentu telah membai'at seorang khalifah dan sah akad pengangkatannya, maka seluruh kaum muslimin wajib berbai'at kepadanya sebagai bai'at taat, yaitu bai'at ketaatan, setelah khilafah terwujud dengan pembai'atan penduduk negeri tersebut.
Jika khalifah telah berdiri di salah satu negeri Islam dan khalifah telah terwujud di dalamnya, maka kaum muslimin seluruh dunia wajib untuk bergabung di bawah panji khilafah dan berbai'at kepada khalifah. Sebab kalau tidak, semuanya akan berdosa di sisi Allah. Dalam hal ini khalifah harus mengajak mereka agar berbai'at kepadanya. Kalau mereka tetap tidak mau, maka mereka dapat dianggap sebagai bughat, dan khalifah wajib memerangi mereka sampai akhirnya mereka tunduk dan mentaatinya.
Jika terjadi pembai'atan terhadap khalifah yang lain di negeri yang sama ataupun di negeri lain setelah khalifah yang pertama dibai'at secara syar'i dan telah memenuhi empat persyaratan tersebut, maka wajiblah bagi kaum muslimin memerangi khalifah yang kedua sampai dia berbai'at kepada khalifah yang pertama. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah Bin Amru Bin Ash yang mengatakan bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda:
"Dan siapa saja yang telah berbai'at kepada seorang imam lalu dia pun telah memberikan uluran tangannya dan buah hartinya, hendaklah ia mentaati imam itu selagi masih mampu. Jika ada orang lain yang ingin merebut kekuasaan darinya, maka penggallah leher orang itu."
Sedangkan orang-orang non Islam tidak berhak membai'at khalifah dan tidak pula diwajibkan atas mereka berbai'at. Sebab, bai'at tersebut adalah bai'at atas dasar Islam, Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dimana hal itu menuntut orang non Islam agar beriman kepada Islam, Kitabullah dan Sunnah Nabi. Orang-orang non Islam juga tidak diperbolehkan ikut serta dalam pemerintahan dan tidak boleh pula ikut memilih penguasa sebab mereka tidak diberi kesempatan untuk menguasai kaum muslimin dan tidak pula ada tempat bagi mereka untuk berbai'at.
Kedudukan seorang khalifah tentu saja lebih tinggi daripada seorang saksi. Karena itu, tentu lebih utama dia memiliki syarat adil. Sebab kalau kepada seorang saksi saja ditetapkan syarat adil, apalagi kalau syarat itu untuk seorang khalifah, 6. Merdeka. 7. Mampu melaksanakan amanat khilafah. Sebab hal ini termasuk syarat yang dituntut oleh bai'at. Jadi, tidak sah bai'at kepada seseorang yang tidak sanggup untuk mengemban urusan umat (amanat khilafah) berdasarkan kitab dan sunah. Karena berdasarkan kitab dan sunah inilah dia dibai'at.
Akad Pengangkatan Khilafah adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan dan pilihan, kerena merupakan bai'at untuk taat kepada seseorang yang mempunyai hak ditaati dalam kekuasaan. Kerelaan ini haruslah dari kedua belah pihak, yakni pihak yang member bai’at dan pihak yang menerima bai’at. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak bersedia menjadi khalifah dan menolak jabatan khilafah, maka ia tidak boleh dipaksa atau ditekan untuk menerimannya, tapi harus dicarikan orang lain untuk menduduki jabatan tersebut. Juga tidak boleh mengambil bai'at dari kaum muslimin dengan kekerasan dan paksaan, karena jika demikian, maka secara syar’i akad tersebut bathil (tidak sah).
Ketika pembai’atan tersebut sah, maka saat itu orang tersebut telah menjadi Waliyul Amri, pemegang tampuk kekuasaan, yang harus ditaati.
Adapun orang-orang yang bisa melakukan pengangkatan jabatan khilafah dengan bai'at mereka, dapat difahami dari fakta yang pernah terjadi pada saat pembai'atan khulafaur rasyidin dan ijma' para sahabat.
Pembai'atan Abu Bakar As Shiddiq cukup dilakukan oleh ahlul halli wal aqdi dari kalangan kaum muslimin yang berada di Madinah saja. Kaum muslimin yang berada di Makkah maupun di seluruh jazirah Arab lainnya tidak dimintai pendapatnya, bahkan mereka tidak ditanya. Demikian pula pada saat pembai'atan Umar Bin Khattab. Sedangkan pada saat pembai'atan Utsman Bin Affan, Abdurrahman Bin Auf ternyata mengambil pendapat seluruh kaum muslimin di seluruh Madinah dan tidak membatasi pengambilan pendapat hanya dari kalangan Ahlul Halli Wal Aqdi sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar ketika mencalonkan Umar. Pada saat Ali Bin Abi Thalib, pembai'atannya hanya dilakukan oleh mayoritas penduduk Madinah dan penduduk Kufah. Dan beliaulah satu-satunya kandidat yang dibai'at. Bai'atnya pun dianggap sah, sampaipun dalam pandangan orang-orang yang menentang dan memeranginya. Sebab, terbukti bahwa mereka tidak membai'at orang lain dan tidak menyangkal pembai'atan beliau. Mereka hanya menuntut keadilan atas tumpahnya darah Utsman. Jadi, status mereka dihukumi sebagai bughat (pembangkang) yang menentang khalifah mengenai suatu urusan. Karena itu, khalifah harus menjelaskan persoalan tersebut kepada mereka dan memerangi mereka. Sehingga mereka tidak sampai membentuk khilafah yang lain.
Atas dasar inilah, maka khilafah dapat terwujud dengan sah, jika pembai'atannya dilaksanakan oleh mayoritas wakil umat yang mewakili sebagian besar umat Islam yang berada dalam wilayah ketaatan kepada khalifah sebelumnya, dimana akan dilangsungkan pemilihan penggantinya sebagaimana yang terjadi pada masa khulafaur rasyidin. Pada saat itu, bai'at mereka menjadi bai'at in'iqad khilafah. Adapun setelah bai'at in'iqad terlaksana maka bai'at yang telah dilakukan oleh selain wakil tersebut adalah bai'atut tha'at yaitu bai'at untuk melaksanakan perintah khalifah, jadi bukan bai'at untuk mengangkat khalifah.
Cara ini berlaku ketika seorang khalifah meninggal dunia atau diberhentikan, dan hendak diangkat khalifah baru sebagai penggantinya.
Adapun dalam keadaan dimana tidak ada khalifah sama sekali, yaitu keadaan dimana kaum muslimin diwajibkan mengangkat seorang khalifah untuk melaksanakan hukum-hukum syara' dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia, sebagaimana keadaan ketika runtuhnya khilafah Islam di Istambul tahun 1343 H, (1924 M) sampai hari ini, maka setiap negeri dari seluruh dunia Islam wajib membai'at seorang khalifah dan melaksanakan akad pengangkatan khilafah. Namun apabila salah satu negeri Islam tertentu telah membai'at seorang khalifah dan sah akad pengangkatannya, maka seluruh kaum muslimin wajib berbai'at kepadanya sebagai bai'at taat, yaitu bai'at ketaatan, setelah khilafah terwujud dengan pembai'atan penduduk negeri tersebut.
Jika khalifah telah berdiri di salah satu negeri Islam dan khalifah telah terwujud di dalamnya, maka kaum muslimin seluruh dunia wajib untuk bergabung di bawah panji khilafah dan berbai'at kepada khalifah. Sebab kalau tidak, semuanya akan berdosa di sisi Allah. Dalam hal ini khalifah harus mengajak mereka agar berbai'at kepadanya. Kalau mereka tetap tidak mau, maka mereka dapat dianggap sebagai bughat, dan khalifah wajib memerangi mereka sampai akhirnya mereka tunduk dan mentaatinya.
Jika terjadi pembai'atan terhadap khalifah yang lain di negeri yang sama ataupun di negeri lain setelah khalifah yang pertama dibai'at secara syar'i dan telah memenuhi empat persyaratan tersebut, maka wajiblah bagi kaum muslimin memerangi khalifah yang kedua sampai dia berbai'at kepada khalifah yang pertama. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah Bin Amru Bin Ash yang mengatakan bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda:
"Dan siapa saja yang telah berbai'at kepada seorang imam lalu dia pun telah memberikan uluran tangannya dan buah hartinya, hendaklah ia mentaati imam itu selagi masih mampu. Jika ada orang lain yang ingin merebut kekuasaan darinya, maka penggallah leher orang itu."
Sedangkan orang-orang non Islam tidak berhak membai'at khalifah dan tidak pula diwajibkan atas mereka berbai'at. Sebab, bai'at tersebut adalah bai'at atas dasar Islam, Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dimana hal itu menuntut orang non Islam agar beriman kepada Islam, Kitabullah dan Sunnah Nabi. Orang-orang non Islam juga tidak diperbolehkan ikut serta dalam pemerintahan dan tidak boleh pula ikut memilih penguasa sebab mereka tidak diberi kesempatan untuk menguasai kaum muslimin dan tidak pula ada tempat bagi mereka untuk berbai'at.