Kamis, 03 November 2011

MENELUSURI JEJAK ISLAM DI INDONESIA PASKA TAHUN 1955 

29 September 1955
Sebanyak 39 juta rakyat Indonesia datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih anggota DPR dalam pemilihan umum multipartai pertama di Indonesia. Disusul pada tanggal 15 Desember 1955 dilakukan pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota Konstituante (lembaga pembuat konstitusi).

Pemilu saat itu dimenangkan empat partai besar PNI (20%), Partai Masyumi (20,9%), Partai NU (18,4 %) dan PKI (16,4%). Hasil bersihnya, partai-partai Islam memperoleh kurang dari 45% suara.

Pelantikan anggota DPR dilakukan pada tanggal 20 Maret 1956 sedangkan pelantikan anggota Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Persidangan dalam Konstituante berjalan sangat alot, terutama berkaitan dengan dasar negara. Dari beberapa kali pemungutan suara dalam sidang Konstituante 52% menghendaki dasar negara Pancasila dan 48% menghendaki negara Islam. Karena kedua belah pihak tidak dapat mencapai 2/3 suara sidang tidak berhasil mencapai kata putus hingga Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden tiga tahun kemudian (5 Juli 1959).

15 Februari 1958
Letnan Kolonel Achmad Husein memaklumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Pemerintahan baru ini mendapat dukungan dari tokoh kharismatis Partai Masjumi Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap serta tokoh PSI Sumitro Djojohadikusumo. Berdirinya pemerintahan tandingan ini didorong oleh masalah otonomi dan serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang dinilai tidak adil.

Dua hari kemudian Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah Letnan Kolonel DJ Somba menyatakan putus hubungan dengan Pemerintah Pusat dan mendukung sepenuhnya PRRI. Gerakan ini dikenal dengan nama Piagam Perjuangan Semesta (Permesta). Dan Permesta pun menyerah pada pemerintah pusat pada 29 Mei 1961.

5 Juli 1959
Atas desakan Pangab Jenderal AH Nasution, Presiden Soekarno mencetuskan Dekrit Presiden. Isi dekrit itu adalah membubarkan Konstituante, kembali ke UUD 1945 dan pembentukan MPRS.

Dekrit tersebut diterima kalangan Islam, karena pemerintah Soekarno menyatakan kembali ke UUD 1945 yang menggunakan semangat Piagam Jakarta.

17 Agustus 1960
Partai Masjumi terpaksa membubarkan diri setelah mendapat tekanan dari pemerintahan Soekarno, Soekarno kemudian mengeluarkan Kepres No 200/1960 yang meresmikan pembubaran itu. Pembubaran ini dilatarbelakangi penolakan partai ini terhadap konsep kabinet berkaki empat (PNI, Masjumi, NU dan PKI) serta menentang ajaran Soekarno tentang Nasakom.

Pertentangan itu juga diperparah oleh penolakan tokoh-tokoh Partai Masjumi terhadap kebijakan politik Soekarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin serta ketidaksukaan Soekarno terhadap sejumlah pimpinan Partai Masjumi yang terlibat PRRI. Menyusul pembubaran Partai Masjumi banyak tokoh Islam yang ditangkap dan dipenjara oleh rezim Soekarno. Di antara mereka adalah M Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, As'at, Prawoto Mangkusasmito, Muhammad Roem, Isa Anshary, EZ Muttaqien, Junan Nasution, Kasman Singodimedjo serta Hamka. Sebagian dijebloskan ke penjara karena fitnah PKI.

30 September 1965
Terjadi peristiwa dramatis pembunuhan dan penculikan sejumlah perwira tinggi TNI AD yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G3OS). Belakangan diketahui G30S didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Aksi itu mendapat kecaman dan kutukan dari banyak kalangan. Tangal 8 Oktober 1965 sebanyak 500 ribu massa bersama 46 orpol dan ormas mengadakan demo besar di Taman Suropati Jakarta, menuntut pembubaran PKI. Tercatat di antara yang demo PII, HMI, Pemuda Ansor, NU, Muhammadiyah, Perti, Pemuda Muslim, Front Katolik serta GMKI.

25 Oktober 1965
Berbagai organisasi mahasiswa anti PKI membentuk wadah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Kemudian diikuti kalangan pelajar dengan membentuk Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), kalangan pemuda dengan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan sejumlah kesatuan aksi lainnya.

10 Januari 1966
Dengan dipelopori KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila memenuhi halaman gedung DPR-GR, mengajukan tiga tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang isinya: pembubaran PKI, retool kabinet dan penurunan harga.

12 Maret 1966
Dengan berbekal Surat Perintah 11 Maret, Pangkopkamtib Letjend Soeharto menetapkan pembubaran dan pelarangan PKI serta berbagai underbouwnya.

20 Juli - 5 Juli 1966
Berlangsung SU MPRS IV. Di antara ketetapannya menegaskan pembubaran PKI serta meminta kepada Presiden Soekarno melengkapi laporan pertanggungjawabannya yang berjudul Nawaksara yang dipandang tidak memenuhi harapan rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijakan Presiden mengenai peristiwa G30S beserta epilognya.

7 - 12 Maret 1967
MPRS mengadakan Sidang Istimewa di Jakarta. Salah satu keputusannya adalah mencabut kekuasaan Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden pada SU MPR ke-V tanggal 21-30 Maret 1968 di Jakarta.

20 Februari 1967
Berdiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jakarta. Organisasi ini didirikan oleh para mantan aktivis Partai Masyumi seperti Moh Natsir, Anwar Harjono, Mohammad Roem dan Prawoto Mangkusasmito, dengan tujuan menggiatkan dan meningkatkan mutu dakwah Islamiyah di Indonesia. Dalam merealisasikan tujuannya, organisasi ini banyak mengirimkan dai ke berbagai pelosok tanah air, hingga ke daerah terpencil seperti Mentawai dan Irian Jaya. Belakangan juga turut mengirimkan da'i ke daerah transmigrasi untuk mengimbangi gerakan kristenisasi.

2 Januari 1974
UU No 1/1974 tentang Perkawinan disahkan Presiden RI setelah disetujui oleh DPR. Sebelumnya RUU yang diajukan sejak bulan Juli 1973 ini sempat ditolak oleh kalangan Islam, karena dinilai sebagian isinya bertentangan dengan syariat agama. Dalam RUU itu tercantum pasal yang mensahkan perkawinan melalui kantor catatan sipil, meski tidak berlandaskan syariat agama. RUU itu juga membolehkan perkawinan pasangan yang berbeda agama. RUU kontan ditolak oleh berbagai ormas Islam, berupa demonstrasi penolakan RUU yang konsepnya dirancang CSIS itu. Puncaknya adalah pendudukan ruang sidang DPR oleh sekitar 500 orang pemuda Muslim yang terdiri dari GPI, IPM, IPNU, PII, dan lain-lain yang tergabung dalam wadah Badan Kontak Generasi Pelajar Islam. Menghadapi tolakan keras dari ummat Islam itu akhirnya dalam sidang DPR, wakil pemerintah bersedia menghapus pasal-pasal yang dianggap kontroversial.

15 Januari 1974
Di Jakarta terjadi demonstrasi besar pertama kali yang dilakukan mahasiswa terhadap pemerintahan Soeharto. Bermula dari demonstrasi yang menuntut dominasi Jepang, berbuntut pada kerusuhan massal di ibukota negara yang dikenal dengan nama Peristiwa Lima Belas Januari (Malari).

26 Juli 1975
Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan di Jakarta oleh 53 orang ulama dan aktivis dari berbagai ormas Islam, seperti antara lain Muhammadiyah, NU, Al Irsyad Al Washilyah dan Al-Ittihadiyah. Terpilih sebagai Ketua Umum pertama Prof HAMKA. Salah satu fungsi penting yang diemban organisasi ini adalah memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan ummat Islam sebagai amar ma'ruf nahi munkar.

Di awal berdirinya, saat dipimpin ulama kharismatik Buya Hamka, MUI bisa menempatkan diri sebagai organisasi independen dan berwibawa serta menjadi alat kontrol efektif terhadap pemerintah. Hingga sempat menimbulkan hubungan tak harmonis dengan pemerintah Soeharto, terutama berkaitan dengan dikeluarkannya fatwa larangan mengikuti perayaan Natal bagi umat Islam. Buntutnya, Buya Hamka terpaksa mundur dari jabatannya.

Era sesudah itu, MUI relatif dekat dengan pemerintah. Bahkan terkesan menjadi corong pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan nasional seperti kebijakan keluarga berencana (KB) dan ekspor kodok.

Setelah kasus isu lemak babi di tahun 1988 yang meresahkan masyarakat, MUI pada 6 Januari 1989 mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM). MUI juga kemudian memprakarsai berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diresmikan di Istana Bogor pada tanggal 30 Oktober 1991.

4 Desember 1976
Pernyataan Aceh-Sumatra Merdeka atau dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

22 Maret 1978
MPR mensahkan Tap MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), meski Fraksi Persatuan Pembangun (FPP) sangat berkeberatan dan sempat melakukan walk out saat dilakukan voting. Sikap PPP ini membuat berang Pemerintah, sehingga Presiden Soeharto menuduh aksi itu sebagai bukti keraguan PPP terhadap kebenaran Pancasila. Selanjutnya Soeharto menginstruksikan ABRI agar waspada kepada pihak-pihak yang meragukan kebenaran Pancasila. Sejak itu Pemerintah gencar mensosialisasikan P4 melalui pelajaran PMP dan penataran-penataran.

Reaksi keras terhadap P4 dan PMP datang dari tokoh-tokoh Muslim, karena dalam implementasinya mengarah pada gagasan sinkretis yang bertentangan dengan aqidah Islam. Buahnya, sejumlah tokoh Islam seperti Abdul Qadir Djaelani dan Tony Ardi dipenjara dengan tuduhan subversif/makar.

27 Maret 1980
Dalam Pembukaan Rapim ABRI di Pakanbaru serta dalam Perayaan HUT Kopassandha di Jakarta tanggal 16 April 1980, mulai mengeluarkan gagasan perlunya pemberlakukan asas tunggal Pancasila bagi seluruh kekuatan sosial politik, sekaligus mengajak ABRI meningkatkan kewaspadaan terhadap para pemimpin PPP.

17 Maret 1982
Dirjen Dikdasmen Prof Soedardji Darmoyuwono mengeluarkan Surat Keputusan bernomor 052/C/Kep/D.82 tentang pakaian seragam sekolah, yang melarang penggunan kerudung atau jilbab bagi siswi Muslimah. Akibatnya, tidak sedikit siswi yang dikeluarkan dari sekolah karena aturan ini, hingga berbuntut gugatan siswa ke pengadilan terhadap pemerintah.

12 September 1984
Terjadi peristiwa berdarah yang kemudian disebut Peristiwa Tanjung Priok, di bagian utara kota Jakarta. Peristiwa ini menelan korban jiwa sekitar 400 orang ummat Islam, termasuk pimpinannya bernama Amir Biki, yang dibantai secara keji dengan menggunakan senjata otomatis oleh pihak militer. Peristiwa ini terjadi akibat gejolak politik yang sengaja direkayasa oleh pemerintah untuk menyudutkan ummat Islam dan membuat citra ummat Islam terkesan radikal. Bertindak sebagai Pangab/Pangkopkamtib ketika itu Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani (Benny Moerdani) dan sebagai Pangdam Jaya Mayjend Try Soetrisno. Kedua tokoh ini sampai sekarang masih melenggang-kangkung, tak terjamah pengadilan.

Lanjutan dari peristiwa ini banyak tokoh Islam ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan subversif, antara lain AM Fatwa, Ir Sanusi, Letjend HR Dharsono, Syarifin Maloko, Abdul Qadir Djaelani, Abu Oesmany Al-Hamidy serta Rahmat Basuki.

8-12 Desember 1984
Nahdhatul Ulama (NU) menyelenggarakan Muktamar NU ke-27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Situbondo yang salah satu keputusan pentingnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi tersebut. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Ketua Umum PB NU yang baru pada muktamar kali itu.

Keputusan penting lainnya adalah pernyataan kembali ke Khitthah 1926, kembali sebagai organisasi sosial keagamaan dan tidak terlibat politik praktis serta memutuskan hubungan dengan semua partai politik. Yang terkena pukulan telak keputusan itu adalah PPP yang kelahirannya merupakan fusi dari empat partai Islam termasuk Partai NU. Karena sejak itu NU putus hubungan dengan PPP dan anggota NU bebas bergabung dengan partai manapun. Dalam rapat komisi muktamar itu, dari 36 anggotanya hanya ada 2 orang yang mendukung penerimaan asas tunggal Pancasila. Tetapi penolakan itu kandas dalam rapat pleno muktamar. Demikian juga Muhammdiyah dalam Muktamar di Surakarta menerima azas Pancasila.

24 Maret - 1 April 1986
Berlangsung pembukaan Kongres HMI ke-16 di Padang. Berbeda dengan saat Kongres HMI ke-15 di Medan yang berhasil menolak pemberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi itu, pada kongres ini HMI memilih Saleh Khalid sebagai ketua umun dan terpaksa menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya demi menjaga kelangsungan hidupnya.

Sebelum kongres ke-16 berlangsung sudah ada lima cabang HMI yang menolak pemberlakuan asas tunggal tersebut dengan membentuk Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) HMI pada tanggal 15 Maret 1986 di Jakarta. Tetapi kelompok ini tidak mendapat ijin untuk turut serta dalam kongres di Padang. Menanggapi keputusan kongres tersebut, MPO HMI membuat pengurus PB HMI tandingan di bawah kepemimpinan Eggy Sudjana pada tanggal 17 April 1986 di Yogyakarta. Selanjutnya, HMI yang menerima asas tunggal disebut HMI Dipo (diambil dari nama Jalan Diponegoro, tempat sekretariat mereka) dan yang menolak asas tunggal disebut HMI MPO.

10 Desember 1987
Keluar vonis dari Menteri Dalam Negeri berupa SK Mendagri No 120/1987 yang berisi pelarangan aktivitas Pelajar Islam Indonesia (PII) lantaran ormas pelajar itu menolak mengganti asas organisasinya dari asas Islam menjadi asas tunggal Pancasila sampai tenggat waktu 17 Juni 1987. Sejak itu PII menjadi organisasi terlarang yang bergerak di bawah tanah.

23 Mei 1988
Pemerintah dalam hal ini Mendikbud Fuad Hasan mengajukan RUU Pendidikan Nasional (RUU PN) yang pasal-pasalnya merugikan kepentingan pendidikan Islam, antara lain karena RUU ini tidak mengakui dasar kebebasan untuk mendirikan dan menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan swasta, termasuk lembaga pendidikan keagamaan. Dalam RUU ini juga tidak diatur kewajiban penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, sesuai agama yang dianut anak didik.

Reaksi pertama disampaikan oleh Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat yang menolak RUU tersebut. Akhirnya RUU itu berhasil disetujui setelah dilakukan koreksi sesuai aspirasi masyarakat.

20 Juli 1998
Partai Keadilan (PK) didirikan di Jakarta. Hal tersebut dinyatakan dalam konferensi pers di Aula Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. PK menolak pemberlakuan asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi. Dalam perjalannya berubah menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
PKS pada awal mula menjadi oposan pihak pemerintah, setelah PEMILU 2004, merupakan pendukung utama presiden Soesilo Bambang Yudoyono (SBY).

1989
Adalah tahun dimulainya Operasi Jaring Merah oleh di Aceh untuk menumpas aksi pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sekaligus dimulainya Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM).

Sejak itu ribuan pasukan TNI tambahan diterjunkan di Bumi Rencong ini untuk memerangi GAM. Aksi militer yang kejam dan melanggar HAM dari kedua belah pihak telah menghasilkan banyak korban rakyat sipil yang tidak bersalah.

Upaya penyelidikan Komnas HAM yang dipimpin Baharuddin Lopa di tahun 1998 menghasilkan data temuan sementara 871 orang tewas di tempat kejadian perkara (TKP) karena tindak kekerasan, 387 orang hilang kemudian ditemukan mati, 550 orang hilang tak diketemukan lagi, 368 orang cedera karena penyiksaan, 120 korban dibakar rumahnya serta 102 orang perempuan diperkosa akibat pelaksaan DOM selama sembilan tahun (1989-1998). Banyak pihak percaya, korban sesungguhnya dua atau kali lipat dari temuan itu.

7 Desember 1990
Sekitar 500 orang pakar dan cendekiawan berkumpul di Universitas Brawijaya, Malang, menghadiri Simposium Nasional Cendekiawan Muslim dengan tema “Membangun Masyarakat Indonesia Abad 21”. Puncak dari acara itu adalah terbentuk Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dengan Menristek Prof BJ Habibie sebagai Ketua Umumnya.

Kehadiran ormas ini yang menandakan berakhirnya rasa curiga dan permusuhan pemerintah Soeharto kepada ummat Islam kemudian melahirkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Kalangan Islam yang selama ini dimusuhi oleh Pemerintah, tentu saja mendukung berdirinya ICMI, karena dengan begitu usaha dakwah ummat Islam dapat lebih leluasa bergerak. Dalam usaha mentransformasikan missinya, ICMI mendirikan lembaga kajian bernama Center for Information and Development Studies (CIDES), koran harian Republika, Yayasan Orbit, dan Pusat Inkubasi Usaha Kecil (Pinbuk).

29 Maret 1998
Sekitar 200 pimpinan lembaga dakwah kampus (LDK) se-Indoneia seusai mengikuti acara forum silaturahmi LDK ke-10 di Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Timur mencetuskan Deklarasi Malang sebagai tanda kelahiran Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Fahri Hamzah dari UI terpilih sebagai ketua umumnya yang pertama.

Beberapa hari sesudahnya KAMMI melakukan gebrakan pertama dengan menggelar Rapat Akbar Mahasiswa dan Rakyat di halaman Masjid Al Azhar Jakarta, menghadirkan sekitar 20 ribu mahasiswa, pelajar, buruh, pedagang, dan ibu-ibu rumah tangga, menuntut pemerintahan Soeharto segera melakukan reformasi sesuai tuntutan mahasiswa.

20 Mei 1998
Bertepatan dengan hari kebangkitan nasional, di Istana Negara Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya setelah berbulan-bulan didemo mahasiswa dan diultimatum oleh Pimpinan MPR. Pada hari yang sama Wakil Presiden BJ Habibie dilantik menjadi Presiden RI ke-3, menggantikan Soekarno.

Beberapa hari sebelumnya ribuan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR.

26 Juni 1998
Prof Deliar Noer mendeklarasikan berdirinya Partai Ummat Islam (PUI) sebagai partai pertama yang berasaskan Islam. Sesudah itu menyusul berdiri pula 12 partai Islam lainnya seperti Partai Bulan Bintang (PBB) tanggal 26 Juli 1998, Partai Keadilan (PK) tanggal 9 Agustus 1998, Partai Nahdhatul Ummat (PNU) tanggal 16 Agustus 1998 dan Partai Kebangkitan Ummat (PKU) 25 Oktober 1998.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang di masa pemerintahan Soeharto dipaksa berasastunggal Pancasila, pada muktamarnya yang terakhir kembali kepada asas Islam dan kembali menggunakan lambang Ka'bah.

PB NU memilih tidak mendirikan partai Islam, tetapi mendeklarasikan partai berasaskan Pancasila bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Begitu pula Muhammadiyah memilih tidak mendirikan partai, tetapi mengijinkan ketua umum Dr Amien Rais sebagai Ketua Umum partai berasaskan Pancasila bernama Partai Amanat Nasional (PAN).

10 November 1998
Berlangsung Sidang Istimewa MPR. Salah satu putusan terpentingnya adalah pencabutan Ketetapan MPR No II/MPR/1978 tentang P4 serta pencabutan Pancasila sebagai asas tunggal orsospol dan ormas.

19 Januari 1999
Tepat di hari raya Idul Fitri tahun lalu, di saat kaum Muslim Ambon sedang beristirahat usai bersilaturahmi dengan sanak famili, mendadak warga Muslim di daerah Batu Merah diserbu warga Nasrani bersenjata parang panjang dan panah berapi. Ratusan rumah, pasar, pertokoan dan sarana pendidikan musnah terbakar. Ratusan nyawa melayang, puluhan ribu penduduk mengungsi. Sejak itu kerusuhan menjalar ke seantero pula Ambon. Bahkan kemudian menjalar pula ke pulau-pulau di sekitarnya. Senjata yang digunakan pun sudah berupa senapan mesin dan bom rakitan. Meski Gus Dur dan Megawati telah berkunjung ke sana bulan silam, kerusahan masih belum berhenti juga.

April 2000
Setelah terjadinya peristiwa Ambon, Laskar Jihad tiba di Ambon pertengahan April 2000. Entah apa yang menjadi alasan pemerintah dan aparat keamanan dalam rangka menyelesaikan konflik horizontal di Poso, yang jelas, sebagaimana informasi yang bersumber dari badan intelijen, Densus 88 Anti Teror telah merekrut mantan Panglima Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib untuk menjadi false flag dalam kasus Poso. Polri menyadari tingginya resistensi terhadap Brimob, maka mereka pun menyusupkan anggotanya ke dalam tubuh Laskar Jihad. Dalam masalah ini pula telah terlibat berbagai kalangang dari kelompok-kelompok Islam diantaranya Majelis Mujahidin dan eks NII Sulawesi.

Dukungan secara diam-diam oleh pihak TNI yang dikenal dengan istilah "Jendral Hijau" telah berhasil memanfaatkan kelompok-kelompok Islam untuk meredakan kasus Ambon kembali ke pangkuan Pancasila.

5-7 Agustus 2000
Majelis Mujahidin lahir berawal dari keprihatinan para tokoh gerakan Islam yang pernah digembleng di “pesantren Orde Baru” seperti Irfan Suryahardi, Deliar Noer, Syahirul Alim, Mursalin Dahlan, Mawardi Noor dan lain-lain. Saat itu hadir kira-kira 1500 orang dari berbagai gerakan di seluruh tanah air, bahkan hadir pula beberapa perwakilan dari negara sahabat, seperti Moro, Malaysia, dan Arab Saudi. Beberapa tokoh Majelis Mujahidin merupakan tokoh-tokoh penting gerakan islam di masa NII SMK dan era NII masa order baru.

2000 – 2002, Majelis Mujahidin bahkan telah disusupi pihak intelijen nasional, dimana seorang pengurus Lajnah Tanfidziyah bidang hubungan antar Mujahid diduga berasal dari BIN. Diketahuinya satu orang telah menyusup ke tubuh Majelis Mujahidin berkaitan dengan hilangnya “pengurus” ini tanpa sebab setelah kasus bom Bali.

12 Oktober 2002
Terjadi peristiwa bom Bali-I di kecamatan Kuta pulau Bali, Indonesia, mengorbankan 202 orang dan mencederakan 209 yang lain, kebanyakan merupakan wisatawan asing. Peristiwa ini sering dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.

Beberapa rakyat Indonesia telah dijatuhi hukuman mati karena peranan mereka dalam pengeboman tersebut. Abu Bakar Bashir (Amir Majelis Mujahidin), yang disebut sebagai salah satu yang terlibat dalam memimpin pengeboman ini, dinyatakan tidak bersalah pada Maret 2005 atas konspirasi serangan bom ini, dan hanya didakwa atas pelanggaran keimigrasian.

Pada Juli 2006, menurut sumber MMI terungkap penyusupan intelijen asing yang berasal dari NTT yang ditugaskan melacak mata rantai MMI dengan Al Qaeda.

1 Oktober 2005
Terjadi Ledakan bom di Jimbaran. Panglima TNI, Endriartono Soetarto, mensinyalir pelaku teror dari kelompok beridentitas Islam, setelah ditemukannya tiga potongan kepala tanpa tubuh --yang diduga sebagai pelaku bom bunuh diri. Media massa pun semakin leluasa mengaitkan tragedi Bom Bali II dengan peristiwa sebelumnya, khususnya dengan nama Dr Azahari dan Noordin M Top.

Mengiringi Bom Bali II, terdapat sejumlah kejanggalan. Melalui tayangan televisi, dapat disaksikan dengan jelas keberadaan polisi federal Australia sejak awal peristiwa ledakan hingga investigasi di TKP. Kenyataan ini membuktikan, antara lain, kebenaran sinyalemen mantan KSAD, Ryamizard Riyacudu, tentang "penyusupan intelijen asing".

15 Agustus 2005
Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia untuk menyelesaikan pertikaian antara kedua belah pihak di Aceh.

22 September 2006
Kasus Tibo adalah sebuah kasus mengenai penyelesaian Kerusuhan Poso. Tibo sendiri merupakan salah satu terdakwa dari tiga terdakwa. Tiga orang terdakwa dalam kasus ini adalah Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Mereka ditangkap pada Juli dan Agustus 2000. Dan dijatuhi vonis mati pada April 2001 di Pengadilan Negeri Palu, dan ditegaskan kembali dengan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 17 Mei 2001. Pengadilan memutuskan bahwa mereka bersalah atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan, dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru.

Kasus vonis mati mereka menimbulkan banyak kontroversi sehingga menyebabkan rencana vonis mati mereka tertunda beberapa kali. Ketiganya dieksekusi mati pada dinihari 22 September 2006 di Palu.

Seruan dari dunia internasional

Sebelumnya Pemerintah Indonesia juga menerima keberatan maupun seruan anti-hukuman mati dari dunia internasional, termasuk dari Tahta Suci Vatikan serta sejumlah negara Eropa, terkait dengan rencana pelaksanaan hukuman mati. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengaku menerima keberatan-keberatan, seruan-seruan, tidak hanya dari pemerintah atau Tahta Suci atau organisasi internasional, tapi juga pribadi-pribadi. Surat-surat yang ditulis dalam bahasa Inggris itu umumnya berasal dari LSM, organisasi keagamaan dan pemerintah, serta perorangan dari negara-negara di Eropa dan AS.

Pada 4 September 2006 sekitar 4000 warga muslim Poso mengadakan protes penuntutan pelaksanaan hukuman mati Tibo cs dilaksanakan dengan segera. Demo ini menyebabkan sekolah, pasar, dan pusat bisnis lainnya tutup. Disinyalir kerusuhan Poso dibekingi oleh gerakan Anti Islam Internasional.

12 Agustus 2007
Diselenggarakannya konferensi Khilafah Internasional di Indonesia, oleh Hizbut Tahrir Indonesia

1-3 Februari 2008
Diselenggarakannya mukernas PKS. PKS mengaku siap menerima anggota non-Muslim untuk jadi anggota DPR. Selama ini telah memiliki anggota DPRD yang non-Muslim di beberapa daerah. Wakil Sekjen PKS Fahri Hamzah mengungkapkan, partainya siap menerima anggota non-Muslim untuk dijadikan anggota DPR dari PKS dan hal itu merupakan konsistensi atas keterbukaan parpol tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar