Rabu, 26 Agustus 2015

FIQIH : MAKALAH MUAMALAH (PINJAM MEMINJAM, UTANG PIUTANG, SEWA MENYEWA, DAN GADAI)

KATA PENGANTAR


Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata pelajaran Fiqih yang dibina oleh 
Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang. Islam sebagai agama yang telah berkembang selama empat belas abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran keagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Dalam penyusunan makalah atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para kaum yang berintelektual tinggi. kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada guru pembimbing kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.



Ketapang, Agustus 2015


Penyusun




DAFTAR ISI

KATA PENGAN TAR .............................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang ............................................................................................................ iii
2.      Rumusan Masalah ....................................................................................................... iii
BAB II
PEMBAHASAN
MUAMALAH
1.      Pinjam Meminjam (Al-Ariyah) .................................................................................... 1
2.      Hutang Piutang (Al-Qardh) .......................................................................................... 2
3.      Sewa Menyewa (Ijarah) ................................................................................................ 3
4.      Gadai (Ar-Rahn) ........................................................................................................... 4
BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan ................................................................................................................... 6
2.      Saran ............................................................................................................................. 6
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 7


BAB I
PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, masing-masing berhajat kepada yang lain, bertolong-tolongan, tukar menukar keperluan dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan umat. Dengan demikian akan terjadi suatu kehidupan yang teratur dan menjadi ajang silaturrahmi yang erat. Agar hak masing-masing tidak sia-sia dan guna menjaga kemaslahatan umat, maka agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan teratur, agama Islam memberikan peraturan yang sebaik-baiknya aturan. Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata 'AMALA-YU'AMILI-MU'AMALATAN yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal.
Muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik (Idris Ahmad) atau " Muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan" (Rasyid Ridho) "(Rahcmat Syafiie, Fiqih Muamalah). Namun dalam makalah ini kami hanya memuat beberapa kegiatan muamalah saja disesuaikan dengan judul yang telah diterima oleh kami.

2.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan bagaimanakah itu pinjam meminjam ?
2.      Apa pengertian dan bagaimanakah itu hutang piutang ?
3.      Apa pengertian dan bagaimanakah itu sewa menyewa ?
4.      Apa pengertian dan bagaimanakah itu gadai ?




BAB II
PEMBAHASAN
MUAMALAH
(PINJAM MEMINJAM, UTANG PIUTANG, SEWA MENYEWA, DAN GADAI)


Pinjam menimjam atau Al-’ariyah menurut bahasa artinya sama dengan pinjaman, sedangkan menurut istilah syara’ adalah aqad berupa pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda itu dan dikembalikannya setelah diambil manfaatnya. Allah SWT berfirman
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah : 2)
Rasulullah SAW bersabda :
“Dan Allah mennolong hamba-Nya selam hamba itu mau menolong sudaranya.”
Dari Abu Umamah ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda : “Pinjaman itu harus dikembalikan dan orang yang meminjam dialah yang berhutang, dan hutang itu wajib dibayar”. (HR. At-Turmudzi).
Hukum asal pinjam-meminjam adalah sunnah sebagaimana tolong-menolong yang lain. Hukum tersebut dapat berubah menjadi wajib apabila orang yang meminjam itu sangat memerlukannya. Hukum pinjam-meminjam juga bisa menjadi haram bila untuk mengerjakan kemaksiatan.
Ø  Rukun Pinjam-meminjam
1.      Orang yang meminjamkan syaratnya :
a.       Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang dipaksa atau anak kecil tidak sah meminjamkan.
b.      Barang yang dipinjamkan itu milik sendiri atau menjadi tanggung jawab orang yang meminjamkan.
2.      Orang yang meminjam syaratnya :
a.       Berhak menerima kebaikan. Oleh sebab itu orang gila atau anak kecil tidak sah meminjam karena keduanya tidak berhak menerima kebaikan.
b.      Hanya mengambil manfaat dari barang yang dipinjam.
3.      Barang yang dipinjam syaratnya :
a.       Ada manfaatnya.
b.      Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh sebab itu makanan yang setelah diambil manfaatnya menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan.
4.      Aqad, yaitu ijab qabul.
Pinjam-meinjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam juga berakhir apabila salah satu dari kedua pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu, karena pinjam-meinjam bukan merupakan perjanjian yang tetap.
Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dan yang meminjam barang tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah yang meminjam dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan pada hukum asalnya, yaitu belum dikembalikan.

Ø  Kewajiban Peminjam antara lain :
a.       Mengembalikan batang itu kepada pemiliknya jika telah selesai.
Rasulullah SAW bersabda : “Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar”. (HR. Abu Dawud)
b.      Mengganti apabila barang itu hilang atau rusak. Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Shafwan bin Umayyah, bahwa Nabi SAW pada waktu perang Hunain meminjam beberapa buah baju perang kepada Shafwan. Ia bertanya kepada Rasulullah : “Apakah ini pengambilan paksa wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab : “Bukan, tetapi ini adalah pinjaman yang dijamin (akan diganti apabila rusak atau hilang)”. (HR. Abu Dawud)
c.       Merawat barang pinjaman dengan baik. Rasulullah SAW bersabda : “Kewajiban meminjam adalah merawat yang dipinjamnya, sehingga ia kembalikan barang itu”. (HR. Ahmad)

2.      HUTANG PIUTANG (AL-QARDH)
Hutang piutang (الدَّيْنُ ) adalah aqad yang dilakukan untuk memberikan sesuatu benda atau uang, dengan perjanjian akan dibayar kembali dalam jumlah dan nilai yang sama. Hutang piutang merupakan salah satu bentuk transaksi yang memerlukan waktu beberapa lama. Agar tidak terjadi lupa atau keliru, maka hendaknya dibuatkan catatan tertulis bahkan bila perlu diadakan saksi.
Firman allah SWT, yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya … “ (AI Baqarah : 282)

Ø  Hukum Hutang Piutang
a.       Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang memberikan hutang hukumnya sunah sebab ia termasuk orang yang menolong sesamanya.
b.      Hukum orang yang berhutang menjadi sunah dan hukum orang yang menghutangi menjadi wajib, jika peminjam itu benar-benar dalam keadaan terdesak, misalnya hutang beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan dan lain sebagainya, maka Rasulullah SAW bersabda :

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُضْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً (رواه ابن ماجه
Artinya : "Tidak ada seorang muslim yang memberi pinjaman kepada seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya dua kali". (HR. Ibnu Majah)

Ø  Manfaat Hutang Piutang
Hutang pihutang sangat besar manfaatnya, karena dengan hutang pihutang, seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu bagi orang yang mampu sebaiknya memberikan hutang kepada orang yang memerlukan sehingga tercipta sikap gotong royong sesama manusia.

Ø  Kewajiban Orang Yang Berhutang
Orang yang berhutang wajib mengembalikan hutangnya sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan. apabila sampai batas waktu tersebut belum dapat mengembalikan, dia harus menyampaikan hal tersebut kepada pemberi hutang.

3.      SEWA MENYEWA (IJARAH)
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut dengan ijarah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang telah diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan. Dasar hukum ijarah terdapat dalam firman Allah Swt. yang artinya: “...dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut..” (Q.S. al-Baqarah/2: 233). Allah Swt. juga berfirman yang artinya: “...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka...”(Q.S. at-alaq/65: 6)

Ø  Syarat dan Rukun Sewa-menyewa dalam Islam
a.       Orang yang menyewakan dan orang yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
b.      Sewa-menyewa harus dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena paksaan. 
c.       Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya dari orang yang menyewakan, atau walinya.
d.      Ditentukan terlebih dahulu barang serta keadaan dan sifat-sifatnya. 
e.       Manfaat yang akan diambil dari sewa-menyewa adalah barang barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak. Misalnya, ada orang akan menyewa sebuah bangunan. Si penyewa harus menerangkan secara jelas kepada pihak yang menyewakan, apakah bangunan tersebut mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan demikian, si pemilik rumah akan mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab risiko kerusakan bangunan antara dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan risiko dipakai sebagai gudang. Demikian pula jika barang yang disewakan itu sebuah kendaraan, harus dijelaskan dipergunakan untuk apa saja.
f.       Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
g.      Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan sebelumnya dengan jelas serta disepakati bersama.

Ø  Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah terlebih dahulu diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
a.       Jenis pekerjaan serta jam kerjanya.
b.      Berapa lama masa kerjanya.
c.       Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: mingguan, bulanan, harian, ataukah borongan ?
d.      Tunjangan-tunjangan seperti transport, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.

4.      GADAI (AR-RAHN)
Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al tsubut dan al habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa al rahn adalah terkurung atau terjerat.
Menurut terminologi syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah:
حبس شىء بحق يمكن إستفا ؤه منه
Artinya :
“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut”.

Para fuqaha sepakat membolehkan praktek gadai ini, asalkan tidak terdapat praktek yang dilarang, seperti riba atau penipuan. Di masa Rasulullah praktek rahn pernah dilakukan. Kita dapati banyak riwayat tentang hal itu dan salah satunya adalah hadits berikut ini.
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dengan cara menggadaikan baju besinya.(HR Bukhari dan Muslim)

Dahulu ada orang menggadaikan kambingnya. Rasul ditanya bolehkah kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan.
Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya… Kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”, (HR Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn).

Dari kedua hadits di atas, bisa kita simpulkanbahwa Rasullulah mengizinkan kita melakukan praktek gadai, bahkan dibolehkan juga buat kita untuk mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan. Sebagai menutup biaya pemeliharaan.
Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.

Secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta, perusahaanpemerintah, atau merupakan bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.

Praktik gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian kini bukan lagi dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya sakit atau butuh biaya sekolah. Pegadaian kini juga tempat para pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya.
Misalnya seorang produser film dakwah membutuhkn biaya untuk memproduksi filmnya, maka bisa saja ia menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar beberapa puluh juta rupiah. Setelah hasil panennya terjual dan bayaran telah ditangan, selekas itu pula ia tebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuiditas lancar, dan yang penting produksi bisa tetap berjalan.

Ø  Unsur Gadai
Dalam prakteknya, gadai secara syariah ini memilikibeberapa unsur:
a.       Pertama: Ar-Rahin
Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan jaminan barang
b.      Kedua: Al-Murtahin
Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.
c.       Ketiga: Al-Marhun/ Ar-Rahn
Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan
d.      Keempat: Al-Marhun bihi
Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.

Ø  Rukun Gadai
Seangkan dalam praktek gadai, ada beberapa rukun yang menjadi kerangka penegaknya. Dintaranya adalah :
a.       Al-'Aqdu yaitu akad atau kesepaktan untuk melakukan transaksi rahn Sedangkan yang termasuk rukun rahn adalah hal-hal berikut:
b.      Adanya Lafaz yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak.
c.       Adanya pemberi dan penerima gadai
Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.
d.      Adanya barang yang digadaikan
Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada di bawah pengasaan penerima gadai.
e.       Adanya Hutang
Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.






BAB III
PENUTUP


1.      Kesimpulan
Dalam pembahasan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa muamalah ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang meberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Hal yang termasuk muamalah dalam pembahasan makalah ini yaitu :
b.      Hutang Piutang (al-qardh)
c.       Sewa Menyewa (ijarah)
d.      Gadai (ar-rahn)

2.      Saran

Kita sebagai umat muslim agar memperhatikan hukum muamalah dan tata caranya yang sah menurut agama islam. Dan kita juga harus memperhatikan apa yang terkandung didalam hal tersebut, agar kita dapat melakukan kegiatan manusia antar manusia dengan baik dan bijaksana.